SEJARAH
Andi Adha Arsyad, M. AP
(Pemerhati Sejarah Kolaka / Kepala Badan Kesbangpol Kolaka Utara)
Historiografi perjuangan rakyat di kabupaten Kolaka yang mengetengahkan sosok sentral sejumlah tokoh masih sangat minim.
Beberapa catatan pelaku sejarah yang dijadikan data primer penulisan, selama ini belum memberi gambaran secara detail biografi para tokoh dan posisinya yang berpengaruh langsung pada perjuangan bersenjata di Kolaka, dan secara umum di Sulawesi Tenggara.
“Kolaka de facto, Muh Jufri dkk, Pemda Dati II Kolaka 1973” merupakan tulisan sejarah perjuangan rakyat Kolaka yang bersumber dari kumpulan berbagai catatan pelaku langsung, serta “Luwu dalam Revolusi, karangan Sanusi Dg Matta, 1963” menjadi rujukan penulisan sejarah, meski kritik sumber sebagai salah satu tahap dalam penelitian sejarah sampai saat ini belum dilakukan.
Beberapa penelitian seperti “Sejarah Sulawesi Tenggara, dan 40 Tahun Sultra Membangun, H. Rustam E Tamburaka dkk, 2004” dan “Sejarah Daerah Kolaka, H Anwar Hafid, 2009” lebih bersifat umum dan lebih bertemakan politik. Demikian pula “Peradaban Mekongga Kolaka, Basrin Melamba, 2012” lebih menekankan aspek sosial dan budaya.
Berbagai tulisan di atas belum menemukan evidence tokoh sentral dan peranannnya dalam sejarah perjuangan rakyat Kolaka tahun 1945 hingga 1949. Meski demikian tetap harus diakui bahwa tulisan-tulisan tersebut cukup untuk menambah khazanah sejarah Kolaka (Kolaka-Kolut-Koltim) sekaligus sebagai penggambaran daerah perjuangan bersenjata di Sulawesi Tenggara.
Kolaka yang resmi berdiri menjadi sebuah kabupaten tahun 1959 merupakan wilayah perjuangan di Sulawesi Tenggara dalam kurun waktu 1945-1949 dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Sejumlah tokoh yang berpengaruh langsung sesuai peran masing-masing, telah terlupakan, seperti; Ahmad Sanusi, Andi Kasim, Indumo, Martinus Yoseph, Ali Kamri, Jufri Tambora, Abdul Wahid Rahim, Supu Yusuf, Konggoasa Latambaga, Badewi, Yunus Makajareng, Halide, Nur Latamoro, Supu Rate-rate, Abu Baeda, Lappase, Issac Marten Ohyver, Kabasima dan Andi Punna.
Seluruh tokoh yang berpengaruh itu tercatat dalam sejarah lokal Kolaka, baik yang berasal dari Ambon, Palopo, Ujung Pandang, Rate-rate, Lasusua, Kendari dan Kolaka sebagai pusat perjuangan 1945 di Sulawesi Tenggara kala itu.
Dan salah satunya yang telah terlupakan adalah Andi Kasim. Sosok yang pada saat rakyat Kolaka mengangkat senjata bertindak sebagai Sulewatang (wakil pemerintah kedatuan Luwu) di Kolaka dalam kapasitas sebagai Kepala Pemerintah Negeri (KPN).
Peran sentral Andi Kasim dalam menegakkan proklamasi kemerdekaan RI di Sulawesi Tenggara telah terlupakan dan tidak lagi pernah terpublis. Pria kelahiran Palopo, 1 Januari 1909 itu untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Kolaka dalam penugasannya sebagai mantri belasting pada 1932, berkedudukan di Kolaka.
Dalam usia yang terbilang muda, 23 tahun, Andi Kasim yang sehari harinya melakukan pengawasan pajak sering berkomunikasi dengan Christian Pingak, seorang guru sekolah rakyat asal Manado.
Komunikasi antar keduanya bersifat tertutup sebab terkait usaha-usaha pemuda dalam merebut kemedekaan setelah mendengar kabar dari Makassar dan Surabaya.
Komunikasi keduanya sempat terhenti ketika Andi Kasim dipindahtugaskan menjadi Palloppang (nama jabatan di Luwu pada masa Hindia-Belanda) di Palopo tahun 1933, dan Kepala Distrik Walenrang 1935.
Pada saat Andi Kasim diangkat oleh Datu Luwu, Andi Djemma menjadi perwakilan Datu di Kolaka tahun 1935, Istilah mincara ngapa dan Sulewatang Ngapa oleh pemerintah Hindia Belanda diubah menjadi Sulewatang Kolaka.
Pembicaraan persiapan kemerdekaan yang sempat terhenti kembali berlangsung saat seorang pegawai dowane bernama Ahmad Sanusi bertugas di Kolaka tahun 1939.
Sanusi sebagai kader Parindra di Makassar mengikutsertakan Supu Yusuf, pegawai controleur Kolaka asal Kendari sehingga kelompok pembicaraan semakin bertambah jumlahnya yakni Andi Kasim, Ahmad Sanusi, Baso Umar, Christian Pingak, dan Supu Yusuf.
Pada saat Sanusi dibebastugaskan sebagai pegawai dowane, Andi Kasim menyarankan Sanusi menetap di Kolaka untuk melanjutkan persiapan-persiapan gerakan pemuda.
Pada Tahun 1939 Andi Kasim menerima besluit (putusan) dari Palopo yang diantar langsung Abd Wahid Rahim, terkait penunjukannya sebagai Kepala Pemerintah Negeri (KPN) Kolaka. Itu kemudian memberi peluang lebih besar bagi usaha-usaha kemerdekaan.
Pada Maret 1940, untuk pertama kalinya di Kolaka terbentuk organisasi pergerakan bernama Pandu Bangsa Indonesia/PBI yang diketuai Ahmad Sanusi.
Andi Kasim sebagai penyokong gerakan menjadikan rumahnya sebagai pusat gerakan, dibantu Indumo yang menangani logistik. PBI beranggotakan orang-orang bumi putra yang terdiri dari para pegawai dan pemuda, baik yang berasal dari Palopo, Sua-sua (sekarang Lasusua), Kolaka dan Tirawuta.
Antara tahun 1940-1945, setidaknya tercatat pegawai dan pemuda yang bergabung kedalam PBI Kolaka antara lain; Andi Kasim, Indumo Dg Makkalu, Ahmad Sanusi, Christian Pingak, Baso Umar Dg Marakka, Abd Wahid Rahim, Supu Yusuf, Muharram Dg Malleto, A. Kamri, Halide, Yunus M, Nur Latamoro, Konggoasa Latambaga, Abu Baeda, Andi Muh Arsjad, Barahima, Muhiddin dan Abu Wahid.
Anggota PBI juga diramaikan anak-anak sekolah rakyat, Hollandsch School (Kelas I-V). Bulan Oktober 1941 Andi Kasim memerintahkan Ketua PBI Ahmad Sanusi untuk melakukan pawai dalam rangka mengenang 13 tahun pencetusan Sumpah Pemuda di Jakarta.
Tepat pukul 09.00 wita, bertempat di halaman kantor controleur mereka melakukan pawai terbuka dipimpin langsung Ahmad Sanusi.
Pada Januari 1942, kabar invasi Jepang dari Morotai, Kalimantan dan Makassar mengakibatkan Controleur Bouwmen dan Tentara Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Kolaka.
Andi Kasim meminta para pemuda Kolaka mengambil alih Statwa/pasukan keamanan kota bentukan Belanda. Statwa kemudian dibubarkan dan diambil alih oleh PBI.
Bendera Belanda diturunkan, diganti dengan merah putih dan dikibarkan di kantor controleur. Orang-orang Tionghoa dilindungi, tahanan KNIL baik tawanan politik maupun tawanan pembangkang agar dibebaskan.
Segala peralatan peninggalan pemerintah Hindia Belanda dan harta orang-orang Tionghoa diatur oleh PBI. Setelah itu PBI kemudian ditugaskan mencari kabar mengenai rencana datangnya tentara Jepang di Kolaka.
Maret 1942, berita pendaratan tentara Jepang di Kendari terdengar. Konggoasa Latambaga menginformasikannya kepada Andi Kasim. Andi Kasim kemudian menugaskan Abd Wahid Rahim, dkk menuju Kendari. Melalui Juru bahasa tentara Jepang Letnan Nakamura, utusan PBI Kolaka bertemu Kapten Yokoyama, komandan tentara Jepang di Kendari.
Beberapa hari setelah kepulangan PBI dari Kendari, sekitar pukul 14.00 konvoi tentara Jepang memasuki kota Kolaka dengan menggunakan 1 sedan dan 4 unit truk yang pimpinan Kapten Yokoyama dan Letnan Nakamura.
Jumlah mereka ditaksir 1 kompi atau sekira 145 Orang. Konvoi bala tentara Jepang itu diterima Andi Kasim berserta Muh. Yusuf, Baso Umar Dg Marakka dan Indumo di halaman kantor Kepala Pemeritahan Negeri Kolaka/eks Kantor controleur. Sejak saat itu tentara Jepang mulai menguasai Kolaka. KPN Andi Kasim diturunkan perannya selaku kepala pemerintah.
Kepala Pemerintah pendudukan Jepang di Kolaka diambil alih oleh Letnan pensiunan Moriama sebagai Bunken Kanrikan dan wakilnya Andi Kasim sebagai Hosakan. Struktur pemerintahan diambil alih oleh Jepang sampai dengan berita proklamasi diterima.
Untuk menjaga keamanan wilayah, pada Maret 1945 Andi Kasim membentuk BPKR/Badan Pertahanan dan Keamanan Rakyat sebagai kelanjutan dari pembentukan BPKT Februari 1945.
Atas diplomasi Andi Kasim kepada komandan tentara Jepang, BPKR menghimpun pemuda-pemuda setingkat 1 batalion untuk dipersenjatai dalam pertahanan dan perlawanan bila tentara sekutu mendarat di pesisir Kolaka sampai dengan Boepinang.
Selain itu, pada Juni 1945 Andi Kasim mendukung pembentukan GKR/Gerakan Kebangunan Rakyat yang dimotori Muh. Jufri Tambora. Melalui Tuan Putjiah, diplomasi Andi Kasim diterima oleh Kapten Kabasima, komandan tentara Jepang di Pomalaa. Dengan susunan GKR antara lain Penasehat: Andi Kasim dan Kapten Kabasima, Pimpinan Umum: Muh. Jufri Tambora, Pimpinan Pasukan: Andi Punna, Muh.Tahrir, Muh Ali Kamri dan Abd Wahid Rahim.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Andi Jaya Langkara seorang pengawas penambangan nikel di Pomalaa mendengar berita Proklamasi dari Jakarta melalui siaran radio milik polisi Jepang, kemudian menyampaikan kepada Andi Kasim.
Kerapatan pemuda dilakukan di rumah Indumo. Andi Kasim memberi petujuk kepada pemuda-pemuda untuk menyiapkan bendera. Seorang perempuan bernama Sainab (Hj Sainabe) menjahit kain merah dan putih, lalu menjadikannya bendera.
Sementara tanda merah putih dilekatkan pada pakaian bagian dada para pemuda, dan hanya Andi Kasim yang secara terang-terangan menggunakan tanda merah putih itu. Tanggal 19 Agustus 1945 Kapten Kabasima dari Pomalaa menemui Andi Kasim di Kolaka.
Pembicaraan berlangsung seputar usaha-usaha kerja sama dai nippong dan pemuda Kolaka dalam menghadapi agresi Belanda. Sikap luwes namun tegas Andi Kasim menimbulkan simpati dan kepercayaan tentara Jepang.
Pada saat barisan PETA terbentuk 21 Agustus 1945, Andi Kasim berusaha menciptakan situasi penuh pengertian dan damai masyarakat yang anti kepada Dai Nippong, sehingga PETA memperoleh bantuan berupa pakaian dan sejumlah senjata dari Kapten Kabasima.
Pada tanggal 29 Agustus 1945, pemuda PETA mengubah diri menjadi PETA/Pembela Tanah Air sesuai perjuangan tentara PETA di pulau Jawa. Pemuda PETA berikrar setia membela proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di rumah Andi Kamaruddin di Kampung Sakuli. Ikrar diikuti 2 peleton Pemuda PETA. Ikrar ini kemudian dikenang sebagai “Sumpah Darah 19 Pemuda”.
Kapten Kabasima meminta Andi Kasim membentuk tim khusus PETA/Mantel. Tanggal 31 Agustus 1945 barisan Angkatan Pemuda Indonesia/API terbentuk dan dipimpin oleh Yunus Makajareng. Andi Punna selaku penyelidik, tim penerjang Abdul Wahid, Opu Topatampanangi dan Supu Rate-rate selaku badan pertimbangan revolusi.
Pada tanggal 7 September 1945, PETA dan API mempermahir menggunakan senjata api. Latihan kemiliteran dipimpin 3 orang bekas Heiho yakni Lappase, Nasir dan Abu Bone. Pasokan senjata diperoleh dari tentara Jepang.
Pada 14 September 1945, atas restu Andi Kasim barisan API membentuk PI atau Polisi Istimewa yang dipimpin Abdul Kadir dan dibantu Usman Efendi, bekas anggota kempetai atau polisi militer angkatan darat tentara Jepang. PI terdiri dari Supu Pai dibantu Junaed, Ali Arifin, dibantu Dadu Arifudin, Raccade dibantu Abu Wahid, penyelidik PI adalah Abu Baeda dibantu Syamsuddin Opa.
Awal bulan September Opu Topatampanangi mengabari Andi Kasim bahwa Datu Luwu di Palopo mempersiapkan gerakan merah putih dan telah membentuk organisasi perjuangan Soekarno muda, maka pada tanggal 15 September 1945 Andi Kasim mengumpulkan barisan PETA untuk mempersiapkan upacara pengibaran bendera Merah Putih.
Pada tanggal 17 September 1945 sekira pukul 08.00 diadakanlah upacara pengibaran bendera merah putih, di-kerek oleh Abd Wahid Rahim dan M.Tahrir. Lagu kebanggsaan Indonesia Raya dinyanyikan bersama yang dipandu guru Christian Pingak.
Bendera Jepang tetap berkibar di Pomalaa. Andi Kasim mengumumkan Kolaka dan sekitarnya adalah daerah Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945.
Andi Kasim dalam pidatonya menganjurkan agar seluruh rakyat Kolaka dan sekitarya mendukung perjuangan pemuda bersenjata dalam membela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Salah satu kutipan isi pidato Andi Kasim :
“PADA HARI INI PEMERINTAH DAN RAKYAT KOLAKA MENYATAKAN BAHWA DAERAH KOLAKA DAN SEKITARNYA TERMASUK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA YANG TELAH MERDEKA DAN BERDAULAT SEJAK TANGGAL 17 AGUSTUS 1945”
Daerah Sua-sua, Kolaka, Tirawuta dan sekitarnya menjadi daerah perlawanan secara frontal melawan tentara NICA. Seorang dokter tentara Jepang dari Pomalaa datang ke Kolaka membawa berita ucapan selamat dari Kapten Kabasima kepada Andi Kasim dan menghadiahkan 2 pucuk pistol kepada Andi Kasim dan Abdul Wahid Rahim. Selain itu dukungan peralatan kepada PETA diberikan 1 buah kapal motor boat, dan 6 truk diterima Andi Kasim.
Berita proklamasi dan penyataan kedaulatan untuk mempertahankan proklamasi di Kolaka terdengar dibeberapa daerah seperti Lambuya, Kendari dan Andoolo.
Hingga 2 bulan berselang, Oktober 1945 Andi Kasim dan Andi Punna menerima kunjungan pemuda Andoolo. Ali Silondae, dkk memberitakan bahwa Nuhung Silondae selaku kepala distrik Andoolo telah mengibarkan bendera merah putih dan menyatakan pemerintah dan rakyat Andoolo melepaskan diri dari pemerintahan Kendari yang masih diduduki Jepang, dan belum menyambut Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ali Silondae kemudian meminta kepada Andi Kasim agar PETA dapat melatih pemuda Andoolo. Lappase kemudian mengirim sersan Saiman (bekas KNIL tawanan Jepang).
Sehari sesudahnya, datang pula rombongan pemuda Boepinang dipimpin Mappeare dg. Mananrang yang menyatakan juga telah menerima ikrar Proklamasi 17 Agustus 1945. Tiga kekuatan pemuda telah bergabung; dari Kolaka, Andoolo dan Boipinang.
Andi Kasim memandang perlu perluasan organisasi sehingga Oktober 1945 Pemuda Republik Indonesia/PRI Kolaka terbentuk dan dipimpin Andi Kamaruddin dan Kapala Staf Ch.Pingak.
Pada pertengahan November 1945, barisan penyelidik API memberikan kabar kepada pimpinan PRI/PETA bahwa tentara sekutu dari Kendari akan ke Pomalaa untuk mengambil alih peralatan Jepang dan sisa-sisa prajurit KNIL yang ditawan di Pomalaa.
Andi Kasim melakukan persiapan penghadangan di kilometer 8 Kampung Baru, Sabilambo. Tanggal 19 November 1945 sejak pukul 05.00 seluruh pasukan pemuda telah siaga di Simpang Tiga Kampung Baru. Hingga menjelang pukul 11.00, di tengah terik matahari siang, deru mobil dari arah Mowewe (Kendari-Kolaka) terdengar jelas. Hanya beberapa lama kemudian mobil berhenti di depan tumpukan kayu penghalang.
Seorang tentara sekutu, dikawal 3 orang turun dari kendaraannya. Sambil bertolak pinggang, seorang tentara sekutu yang diperkirakan pimpinan pasukan berkata; “kurang ajar, siapa yang pasang kayu penghalang di sini !?“ Ia memerintahkan 4 orang tentaranya untuk menyingkirkan kayu penghalang tersebut.
Dari semak belukar Andi Kasim dan Muh. Yunus Makajareng menampakkan diri dan langsung berhadap-hadapan dengan tentara sekutu tersebut. Hanya jarak 6 meter antara Andi Kasim dengan pimpinan tentara sekutu (TB), mereka pun berdialog.
AK : Selamat Siang Tuan, Saya Andi Kasim. Petor Kepala Pemerintah Republik Indonesia Kolaka, Daerah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
TB : Saya Letnan Johan Van Bond Tentara Sekutu. Atas Perintah Komandan Tentara Sekutu di Makassar, Saya ke Pomalaa untuk memeriksa keadaan dan peninggalan tentara Jepang, dan mengambil Eks KNIL yang pernah ditawan Tentara Jepang.
AK : Dimana Surat Perintah Komandan Tentara sekutu ?!.
TB : (Tanpa bergeming, diam dan berpura-pura meraba saku baju, tidak dapat memperlihatkan surat perintah. Ia bertolak pinggang tampak kebingungan)
AK : Tuan melanggar, memasuki daerah Republk Indonesia tanpa izin pemerintah RI di Kolaka. Tuan tidak boleh melanjutkan perjalanan ke Pomalaa. Senjata-senjata tuan dititip di markas PETA Kolaka. Bila tuan-tuan kembali dari Pomalaa senjata tuan-tuan boleh diambil. Keamanan tuan-tuan selama dalam daerah RI di Kolaka dalam tanggungan kami. Kalau tuan-tuan tidak menghiraukan perintah kami, keselamatan tuan- tuan di luar pengetahunan kami.
Tanpa menghiraukan saran-saran Andi kasim, Letnan Bond memerintahkan pasukannnya untuk masuk mobil, berlalu meninggalkan Andi Kasim dan terus melanjutkan perjalanannya ke Pomalaa. Pimpinan PRI mengambil keputusan bahwa penghadangan hasus dilakukan setelah kembalinya pasukan NICA dari Pomalaa.
Sekira jam 15.30 kembali terdengar deru konvoi mobil tentara NICA. Raungan mobil kedengarannya agak lain, dan ramai. Ternyata 2 truk paling depan memuat pasukan Jepang tanpa menggunakan helm baja.
Kendaraan sedan diurutan ketiga yang ditumpangi Letnan Bond dan pengawalnya disusul 2 truk berisikan beberapa pasukan KNIL dan 1 truk paling belakang dalam keadaan kosong, kecuali ada 2 orang tentara Jepang di depan.
Pada saat ke-lima mobil beriring-iringan masuk pada sasaran tembak, akhirnya terdengar tembakan udara dari arah tempat Ratjtjade sembunyi, disusul tembakan berikutnya dari arah tempat Andi Punna. Kedua letusan diikuti dengan tembakan lainnya dari semua sayap penyergapan.
Konvoi mobil berhenti seketika dan saat itu juga seluruh tentara NICA dan tentara Jepang lompat berlarian dan berlindung disemak. Tembakan sengaja diredahkan, Tembakan balasan dari tentara NICA terdengar secara beruntun.
Tembak menembak pun tak terelakkan. Tentara Jepang yang diangkut dari Pomalaa berlindung. Di antarnya terdengar teriakan ….Indonesiaa!!,…tidak tembak yoo…!! disini Nippon Tuaan !! ….Nippon Indonesai Bangzaiii …!!!
Posisi pasukan NICA tidak diuntungkan dan terdesak sehingga Letnan John Van Bond kabur dari medan pertempuran.
Hasil-hasil pertempuran dalam penghadangan pasukan NICA di Kampung Baru antara lain : 4 buah Truk dirampas, 1 buah sedan pakkert dirampas, senjata LE 2 pucuk, senjata Yunglle Gun 6 Pucuk, topi/helm baja NICA 8 buah, bayonet/sangkur NICA 4 buah, samurai Jepang tanpa sarung 1 buah, kotak peluru besi 2 kotak kosong, 4 tentara NICA tewas (satu diantaranya ditombak oleh Lantema), dua orang tentara NICA luka–luka, 2 tentara Jepang luka tertembak pada bagian paha, dan Mustin asal Madiun Gugur, Tahiya asal Kolaka luka-luka.
Sehari setelah peristiwa kontak senjata tersebut, tanggal 20 Nopember 1945 Andi Kasim mengubah barisan PRI menjadi Pembela Keamanan Rakyat/PKR dengan M. Yoseph sebagai kepala staf.
Masih pada bulan Nopember 1945, Andi Kasim menerima berita bahwa ada permintaan komandan tentara Sekutu/Australia melalui caraka Andi Djemma dari Palopo untuk diadakannya perundingan antara tentara Sekutu/Australia dengan pejuang bersejata Republik Indonesia Kolaka.
Tanggal 29 Desember 1945 pukul 09.00 rombongan perundingan dengan menggunakan kapal perang SUNRIESZE berbendera Autralia berlabuh di perairan Pelabuhan Pomalaa. Perundingan dilaksanakan. Delegasi tentara Sekutu yang dipimpin kapten Ceiger didampingi Andi Mappayompa Opu Tomarilaleng Kedatuan Luwu. Pihak PKR dipimpin Andi Kasim yang didampingi dr. Kwe Hoat Yoe sebagai juru bahasa.
Perudingan berlangsung lama dengan menghasilkan tuntuntan dari Sekutu kepada PKR, (1) Menyerahkan Letnan Boon dan tentara NICA lainnya yang ditawan oleh PKR Kolaka, (2) Senjata api milik PKR diserahkan kepada delegasi tentara sekutu, (3) Pemimpin pemberontak/PKR Kolaka diserahkan kepada delegasi sekutu, (4) Mengembalikan senjata-senjata tentara NICA yang dirampas, (5) PKR Kolaka harus tunduk kepada tentara Jepang di Pomalaa sebagai wakil tentara sekutu.
Waktu yang diberikan kepada PKR Kolaka untuk mengindahkan ultimatum tersebut 1 x 14 jam. Pada tanggal 30 Desember 1945 siang, kira-kira pukul 13.00 perundingan dilanjutkan. Andi Kasim memimpin membacakan keputusan PKR Kolaka.
Keputusan itu antara lain; (1) Pertukaran tawanan antara tentara sekutu dengan PKR Kolaka dilakukan, (2) Satu buah senjata api jenis karabyn 9,5 dalam keadaan rusak diserahkan, (3) Senjata lainnya, baik senjata rampasan dan milik rakyat tidak dapat diserahkan oleh karena pimpinan PKR dan rakyat telah masuk ke hutan terlebih dahulu.
Perundingan ditutup dan Andi Kasim membacakan simpulannya, bahwa keamanan kota Kolaka diserahkan kepada Pemerintah Kolaka dengan catatan bila sewaktu-waktu diperlukan, tentara Jepang sebagai wakil sekutu dapat memberikan bantuannya.
Selain itu tentara NICA dilarang memasuki daerah Kolaka. Perundingan selesai hampir masuk waktu maghrib. Delegasi tentara Sekutu (Australia) meninggalkan perairan Pomalaa menuju Palopo pada malam harinya.
Dari catatan peristiwa tersebut diatas, tergambar bahwa Andi Kasim memegang peran penting dalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, disamping peristiwa lainnya seperti; (1) Meminta pasukan kipas hitam Sua-sua pimpinan Badewi untuk bergabung dengan PKR Palopo sebelum peristiwa 23 Januari 1946, (2) Melakukan invasi ke markas NICA di Wawotobi, sebelum pertempuran Rate-rate 5 Februari 1946, dan Kolaka dikuasai NICA 7 Februari 1946, (3) Menyokong pengamanan Datu Luwu Andi Djemma dan keluarganya di Latou dan Batuputih (sekarang di Kolaka Utara), sebelum jatuhnya Benteng Batu Putih pada 3 Juni 1946, (4) Memimpin gerilya sebelum tertangkap di Tamboli pada 7 Juli 1946, (5) Melaksanakan tugas-tugas, baik selaku Sulewatang dan eks KPN di Kolaka sampai dengan terbentuknya NIT pimpinan A. Mattotorang sebagai Onder Afdeling Chef/OAC 1948- 1949 (sebelum kedaulatan 29 Desember 1949), sebelum ia dijatuhi hukuman.
Sewaktu dalam tahanan Belanda Andi Kasim mengalami penyiksaan. Hukuman dijatuhkan melalui Pengadilan Hadat Tinggi/kesatuan federasi dari swapraja Sulselra yang diketuai Mayor Andi Pabbenteng (Raja Bone) dan Ketua Hakim Tinggi Sulselra Mayor Van Lid. Andi Kasim divonis 4 tahun penjara dan ia beserta keluarganya diasingkan di Ruteng Flores, NTT.
Setelah keluar dari tahanan Belanda, Andi Kasim diamanahkan oleh pemerintahan Republik Indonesia untuk memegang jabatan : (1) Patih (Wakil Bupati) di Palopo 1950-1952, (2) Patih (Wakil Bupati) di Pare-pare 1952-1953, (3) Kepala Daerah Pare-pare 1956-1957, (4) Bupati Kepala Daerah Pare-pare 1957-1958, (5) Anggota Konstituante 1958, (6) Kepala Bagian Pemerintahan Umum Kantor Gubernur Sulawesi Selatan 1960, (7) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Luwu 1960-1961.
Tahun 1997 Andi Kasim Wafat di Makassar dalam usia 88 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kota Palopo. Tanda jasa dan penghargaan yang telah diperolehnya hanya Bintang Gerilya 10 November 1958, dan Lencana Cikal Bakal Tentara Nasional Indonesia, 29 April 1998.(**)
Sumber : Toparelleseng, Andi Muh Arsjad– Orang-orang penting yang berjuang di Kolaka 1945-1949– Catatan stensil, ketik tanpa tahun Muh Jufri, Tahrir– Andi Muh Arsjad dkk– Kolaka de Facto 1973, Hafid Anwar– Perjuangan Andi Kasim di Jazirah Sultra, Dinas Sosial Prov Sultra 2003.