Menu

Mode Gelap
Kasus Covid di Kolaka Terus Bertambah, Jumlah Pasien Meninggal Mencapai 19 Orang PT CNI Fokus Mitigasi Bencana dan Rehabilitasi Ekologi Wilayah Terdampak Longsor Tunggu Persetujuan Bupati, Kadis Dikbud Kolaka akan Lowong

Feature

Tambang Ancam Kelestarian Hutan di Sultra

badge-check


 Foto by KUMPARAN Perbesar

Foto by KUMPARAN

SIBERKITA.COM, KENDARI – Soindo (45) tampak serius mengawasi anak dan isterinya yang sedang mengaduk air nira panas dalam kuali di atas tungku dengan api menyala. Pria yang sejak kecil sudah menggeluti pekerjaan sebagai pembuat gula merah ini menganggap pohon aren sebagai penopang hidupnya. Walau dengan air nira dari pohon aren Ia hanya bisa memperoleh Rp 10 ribu per hari.

Soindo mewakili 24 ribu warga Kabaena yang hidup turun temurun dari kerja ini. Gula merah mereka merupakan produk terbaik di Sulawesi Tenggara. Jadi tak heran, bila Soindo dan beberapa warga Kabaena lainnya menganggap kerja ini sebagai bentuk tanggung jawab pada nenek moyang mereka sendiri. “Ini warisan dari nenek moyang saya,” katanya dengan bangga.

Pohon nira yang tumbuh bertebaran di Pulau Kabaena merupakan satu dari sekian banyak sumberdaya alam (selain tambang dan perikanan) yang tumbuh menyebar dalam hutan-hutan seluas 95.050 Hektar namun tak terkelola dengan baik. Ulah manusia dan faktor alam juga menyebabkan luasan hutan mengalami penurunan dan pada tahun 1998 tercatat sisa 53.400 Hektar.

“Bahkan sejak tahun 2003 hutan lindung Lengora – Kabaena dinyatakan kritis,” kata Mani Ibrahim, kepala BIP Hut Sultra.Penyebabnya faktor alam, yaitu vegetasi yang hidup di pulau itu tidak mudah tumbuh karena merupakan daerah yang masuk dalam garis vulkanis, sehingga pohon tak mudah tumbuh akibat unsur hara tanah tidak memadai dan hawa tanah yang panas.

Pulau Kabaena adalah sebuah pulau seluas 867,89 KM2, yang masuk dalam daerah administrasi Kabupaten Bombana, Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Potensi tambang nikelnya seluas 35.606 KM hektar dan batu kromit (marmer) 2.400 hektar.

Sumber daya ini sudah di tinjau oleh beberapa orang tenaga ahli dengan utusan dari beberapa perusahan tambang di Indonesia. Menurut data WALHI, perusahaan tersebut sudah mengantongi izin dari pemerintah kabupaten Bombana, mulai dari izin kontrak karya, penyelidikan umum, eksplorasi sampai pada tahap izin eksploitasi, terlebih lagi semua izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Bombana tidak melibatkan masyarakat didalamnya.

Perilaku itu merupakan cermin dari sikap pemerintah kabupaten bombana yang tidak perduli terhadap nasib dan kepentingan masyarakat local pulau Kabaena, sikap yang mengabaikan hak-hak masyarakat. Mereka (masyarakat) harus tahu dan mesti ikut terlibat dalam proses pengambilan kebijakan, apalagi hal tersebut berkaitan dengan sumber daya alam yang nantinya akan berdamapak terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Pemerintah tidak memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan ketika perusahaan tambang mengeksploitasi tambang yang ada.

Menurut data Badan inventarisasi Pohon Dinas Kehutanan (BIP HUT) Sultra tahun 2000, total luas hutan lindung di pulau Kabaena adalah 27. 496 hektar. Di hutan ini, hidup berbagai tumbuhan endimik serta satwa langka khas Sultra. Diantaranya adalah Anoa, Rusa dan beberapa jenis burung khas Sulawesi.

Tapi Kabaena masih memiliki deposit tambang nikel yang berada di wilayah seluas 35,606 hektar dan batu kromit pada luasan 2400 hektar. Pemerintah dan sebagian warga memandang deposit ini sebagai potensi dan peluang menaikkan kesejahteraan hidup. Namun penggiat lingkungan menganggap tambang adalah ancaman bagi pulau kecil Kabaena.

Tahun 2000-an, Pemerintah mulai memberikan keluasan izin pengelolaan tambang di pulau kecil itu. Potensi tambang ini diincar oleh 20 pengusaha tambang nikel yang telah mengajukan izin dari pemerintah Kabupaten Bombana baik berupa izin kontrak karya, izin penyelidikan umum maupun izin eksplorasi dan eksploitasi. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi kabupaten Bombana, Ir. Kahar. MS mengatakan, maksimal pemerintah Bombana akan memberikan 24 izin kelola tambang. “Tapi tentu tak semua akan bekerja, banyak syarat yang kami tetapkan,” katanya.

Syahrul, Koordinator LSM Sagori yang konsen dalam urusan tambang mengatakan, pemberian izin kelola tambang dari Pemerintah Kabupaten Bombana merupakan kecelakaan bagi warga Bombana. Sejak awal tak ada sosialisasi jelas dari Pemerintah maupun perusahaan terhadap warga. Padahal, berdasarkan peraturan pemerintah no 75 tahun 2001 pasal 26, perusahaan yang telah mengantongi izin Kuasa pertambangan wajib membayar iuran tetap dan iuran eksplorasi dan mensosialisasikan hal itu pada warga setempat.

“Warga harus tahu hak mereka, termasuk agar mereka bisa bersikap kritis bila pengelolaan tambang dilakukan dengan cara merusak,” katanya.

Ia menilai pemberian dana community development pada warga samasekali tak akan pernah bisa memperbaiki kerusakan yang telah ada. Syahrul mendesak pemerintah untuk memberikan komitmen pertanggungjawaban secara transparan pada warga bila pada akhirnya perusahaan tambang itu telah mengakhiri kontrak tambangnya. “Perlu bagi kami dan warga mengetahui, seperti apa rupa Kabaena kelak dan siapa yang akan merawat pulau ini pasca tambang?”

Ambisi Besar, Tenaga Kurang

Saat ini, masyarakat di sekitar PT. Bily Indonesia, sedang ribut-ribut soal perekrutan tenaga kerja lokal yang tidak seimbang. Sodikun, Manager HRD perusahaan itu mengatakan, sekitar 82 % masyarakat lokal direkrut sebagai tenaga kontrak. Karena sumber dayanya yang tak menguasai teknis pertambangan, maka kebanyakan mereka ditempatkan sebagai pekerja rendahan.

Faktor ini kemudian dikritik LSM Sagori. ”Ini gerakan marginalisasi, bagaimana mungkin ini dianggap pantas? Sedang mata pencaharian pokok mereka tersingkir karena hadirnya tambang?” tukas Syahrul lagi.

”Pemerintah kecamatan sampai lurahnya sudah mendukung adanya pertambangan,” kata Jamal, ketua LPM kelurahan itu. Dia mengatakan, masyarakat sebenarnya punya keberanian untuk menghengkangkan perusahaan tambang yang masuk itu, namun mereka tak bisa mengutarakannya di depan manajemen perusahaan. ”Warga sini kebanyakan tak pandai berbahasa Indonesia. Mereka juga tak pandai berdebat,” kata Jamal.

Sahrul menilai, faktor inilah yang mendasari pihak perusahaan itu menyimpulkan bahwa mereka diterima oleh masyarakat setempat. Mestinya pemerintah lebih memperhatikan masyarakat ini. Pengorganisasian kelompok masyarakat di darah ini nyaris tidak ada. Sehingga banyak sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat setempat.

”Mengapa pemerintah tak mendorong pengelolaan perkebunan yang telah ada?” tanyanya. Rata-rata warga Kabaena memiliki jambut mete (yang menyebar di laha seluas 16.040,70 Ha), lalu tanaman kelapa di lahan 12.467,00 Ha, Coklat/kakao seluas 6.750,00 Ha dan Aren/enau seluas 4.493,00 Ha. ”Budidaya rumptu laut juga tak diarahkan, padahal hasilnya lebih besar dari penghasilan yang mereka peroleh sebagai buruh tambang,” kata Syahrul.

Alihi, petani rumput laut asal dusun Bungi Towea ini mengeluhkan hasil tanaman rumput lautnya tak pernah meningkat, bahkan semakin merugi saja. Seperti petani rumput laut lainnya, dia hanya menggunakan cara-cara tradisional, tak ada proses pembelajaran dari pemerintah maupun pihak lain. Persoalan makin melebar karena rata-rata petani rumput laut terlilit utang pada tengkulak yang membeli rumput laut mereka.

Mengapa Harus Tambang?

Pertambangan dikenal sebagai usaha yang destruktif dan ekstraktif sejak usaha tersebut dimulai sampai tambang tersebut tutup. Kelola tambang akan mengalihkan fungsikan hutan secara besar-besaran dan bukti di sejumlah propinsi di Indonesia menunjukkan banyaknya kerusakan lingkungan saat proses tambang dilakukan.

Siti Maemunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang menilai sejak mulai beroperasi perusahaan tambang sering melakukan kesalahan yang disengaja. Misalnya, tak punya itikad baik untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat mengenai kemungkinan-kemungkinan resiko jangka panjang akibat aktivitas pengoperasian perusahaan tambang. Seperti yang dialami masyarakat desa Pongkalaero kecamatan Kabaena.

Masyarakat di bawah bukit Bumbu Ntowulu meresahkan aktivitas PT. Bily Indonesia yang mulai mengeruk tanah kandungan nikelnya dan kelurahan Lambale Kecamatan Kabaena Timur. ”Mereka tak pernah sosialisasi analisis dampak lingkungan,” kata Ashar, warga setempat.

”Siapa bilang? Mereka telah melakukannya,” jawab Ir. Kahar, kepala Dinas pertambangan dan energi Kabupaten Bombana.

PT Bily adalah perusahaan yang beroperasi sejak tahun 2007 di Kabaena. Mengelola wilayah seluas 194 hektar dan memberikan dana Rp 1000 per ton hasil keuntungannya pada warga sebagai bukti penyelesaikan community development. Pada bulan Mei total dana community development yang telah diberikan sebesar Rp 540.471.000,- pada warga. Sosialisasi dana itu dilakukan lewat secarik kertas yang ditempel di dinding toko, bangunan pemerintah dan tempat lain yang mudah diakses warga.

”Kami sangat terbuka membahas hal ini,” kata Slamet Mujiono, Manajer Produksi PT Bily. Community development adalah satu kewajiban yang dilakukan PT Bily selain upaya reklamasi. Tapi tetap saja upaya mereka tak pernah bisa menjawab ; siapa yang kelak akan memperbaiki kerusakan lingkungan pasca tambang di Kabaena.

Kasus tambang-tambang di Indonesia mengajarkan satu hal ; hati-hati. Seringkali kenaikan ekonomi daerah tak relevan dengan dampak yang ditimbulkan. Siti Maemunah juga mengatakan, hal lain yang perlu disimak adalah pertambangan skala kecil ataupun besar selalu membutuhkan lahan luas serta air dalam jumlah banyak. Karenanya, pemerintah berkewajiban menimbang sebelum izin pengelolaan tambang dilakukan. “Banyak sektor lain yang berpotensi sama dan tak merusak bisa dilakukan. Misalnya, mengolah sektor pertanian, perikanan dan kelautan,” ujarnya.

Mahendro, S.Hut, Kepala Seksi Program Balai Pemeliharaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sultra, mengatakan tambang akan menyebabkan wilayah tangkapan air hilang bersamaan dengan gundulnya hutan. Lubang-lubang besar yang tercipta selama proses eksplorasi maupun eksploitasi akan potensial menjadi penyebab terjadinya longsor dan erosi.

Tak kalah serius adalah hilangnya kemampuan kawasan hutan untuk mendukung kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan. Selama ini, hutan terbukti mendukung perekonomian masyarakat sekitar melalui pengambilan hasil hutan seperti buah-buahan, madu, rotan, dan bahan bangunan. Padahal sejak awal warga sekitar telah hidup bersama dengan hutan. Artinya, bila kawasan hutan tersebut hilang, maka hilang pula pendukung dan fungsi hutan bagi masyarakat sekitar.

Dampak lain adalah, pengelolaan tambang di wilayah kecil akan memberi pengaruh kerusakan yang sulit ditunda. Jaringan Advokasi Tambang(JATAM) Indonesia, mencatat sampai tahun 2001 lalu sekitar 70 buah pulau kecil telah tenggelam. Penyebab utamanya adalah ulah manusia ketimbang pengaruh iklim global yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut. Umunya, tenggelamnya pulau kecil itu disebabkan oleh pengerukan bukitnya.

Kritikan terhadap kabupaten Bombana adalah keluarnya izin-izin kelola tambang tanpa diiringi dengan konsep tata ruang dan wilayah yang detail. “Kami akui, wilayah ini belum memiliki konsep tata ruang,” kata Ahmad Yani,wakil ketua DPRD Kabupaten Bombana.

Menurutnya, pemerintah Bombana telah mencanangkan Kabaena sebagai daerah pertambangan dan DPRD tak memiliki kekuatan untuk mengkritik kebijakan ini.

Pulau-pulau kecil cenderung mengalami persoalan besar karena ukuran luasnya tak lebih dari 10 ribu km persegi. Secara ekologi terpisah dari pulau induknya, memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lainnya atau penduduknya kurang dari 500 ribu jiwa.

Kabaena juga riskan menjadi wilayah tambang karena memiliki proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Mempunyai tangkapan air yang relatif kecil, sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang dalam air dan dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau ini mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan menganggu kelestarian budaya mereka.

Apa yang akan terjadi bila tambang Kabaena di teruskan?Sementara daya dukung sumber daya alam tak terbarukan itu akan menipis, tak bakalan bertambah lagi di lain sisi jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat dari hari kehari semakin meningkat.(*)

Penulis: Abdul Saban
Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Porwanas Ke-14 Masuk Agenda Resmi Hari Jadi Pemprov Kalsel

18 Juli 2024 - 07:22 WITA

Tidak Memenuhi Syarat, Wahyudin Alie – Sugiarto Tak Bisa Ikut Pilkada Kolaka 2024

18 Juli 2024 - 06:41 WITA

Komisioner KPU Kolaka, Israwati

Sekilas Praktek Pengelolaan Lingkungan Hidup ANTAM UBP Nikel Kolaka

7 Juni 2024 - 09:36 WITA

PT Ceria Raih Proper Biru Enam Kali Berturut-turut

30 April 2024 - 10:43 WITA

Gelar Halalbihalal, USN Kolaka Sosialisasikan Visi – Misi Kampus hingga Tahun 2040

17 April 2024 - 20:04 WITA

Trending di Bau-Bau